Ketika Mughal Bertemu Suku Chakma: Jejak Islam dan Hubungan Ekonomi

Perbukitan Chittagong menyimpan kisah kompleks tentang interaksi budaya dan politik, di mana jejak pengaruh Islam, perjanjian dengan penguasa Mughal, dan pergulatan keyakinan saling terkait. Suku Chakma, dengan sejarah panjang mereka, berada di pusat dinamika ini. Suku Chakma juga ada di Myanmar dan dikenal sebagai orang Daingnet.

Pada tahun 1666, Gubernur Mughal Bengal, Shaista Khan, mengalahkan Kerajaan Arakan, menaklukkan Chittagong, dan mengganti namanya menjadi Islamabad. Namun, kekuasaan Mughal pada awalnya terbatas pada dataran rendah Chittagong, sehingga suku Chakma sebagian besar tidak terpengaruh.

Seiring waktu, konflik perdagangan antara Mughal dan Chakma muncul, dan Mughal mulai menuntut upeti dari suku Chakma. Namun, Mughal tidak pernah menuntut penaklukan penuh atas suku Chakma.

Pada tahun 1713, konflik diselesaikan, dan hubungan stabil terjalin antara Chakma dan Mughal. Mughal bahkan memberikan penghargaan kepada Raja Chakma Shukdev Roy, yang mendirikan ibu kota baru di wilayah yang dikenal sebagai Shukbilash. Reruntuhan istana kerajaan dan bangunan bersejarah lainnya masih ada hingga kini. Kemudian, ibu kota dipindahkan ke Rajanagar, Ranirhat, Rangunia Upazila, Chittagong.
Sebuah perjanjian penting ditandatangani antara Mughal dan Raja Chakma Jallal Khan pada tahun 1715. Perjanjian ini mengakui kemerdekaan suku Chakma dari Mughal, meskipun Mughal menguasai sebagian besar hasil panen ubi dan kapas di Chittagong Hill Tracts (CHT).

Perjanjian ini mencerminkan dinamika kekuasaan yang kompleks di wilayah tersebut. Mughal mengakui otonomi suku Chakma, sementara tetap mempertahankan kendali atas sumber daya ekonomi yang penting.

Namun, di tengah interaksi politik ini, pergulatan keyakinan juga terjadi di kalangan suku Chakma. Penggunaan gelar Khan oleh raja-raja Chakma menunjukkan adanya pengaruh Islam yang kuat pada masa sebelumnya.

Ratu dari Raja Dharam Bux Khan kemudian memainkan peran penting dalam perubahan kebijakan keagamaan. Ia mendorong penetapan agama Buddha sebagai agama resmi kerajaan Chakma, dan upaya pemurtadan warga dari agama Islam pun dilakukan.

Perubahan kebijakan keagamaan ini menimbulkan ketegangan dan konflik di antara masyarakat Chakma. Sebagian warga yang telah memeluk Islam merasa tertekan dan terdiskriminasi.

Jejak pengaruh Islam tetap tertinggal dalam budaya dan tradisi suku Chakma. Nama-nama Muslim yang digunakan oleh raja-raja mereka, serta beberapa praktik budaya yang diadaptasi dari tradisi Islam, adalah bukti nyata dari masa lalu yang kaya dan kompleks.

Kisah ini adalah pengingat bahwa sejarah tidak selalu linier. Interaksi budaya dan agama dapat menghasilkan perpaduan yang unik, namun juga dapat menimbulkan konflik dan perubahan.

Pengaruh Mughal, perjanjian dengan raja-raja Chakma, dan pergulatan keyakinan di kalangan suku Chakma adalah bagian dari sejarah yang kompleks dan menarik.
Dengan memahami sejarah ini, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang dinamika budaya dan politik di wilayah tersebut. Kita juga dapat belajar tentang pentingnya toleransi dan saling pengertian dalam membangun masyarakat yang beragam.

Sejarah ini juga memberikan pelajaran tentang pentingnya menghormati perbedaan keyakinan dan menghindari diskriminasi.
Share on Google Plus

About peace

0 komentar:

Posting Komentar