Di tengah keragaman etnis Myanmar, khususnya di wilayah Rakhine, terdapat sebuah komunitas unik yang menyimpan sejarah menarik: suku Kaman. Mereka adalah kelompok etnis yang beragama Islam, namun memiliki akar budaya dan bahasa yang kuat dalam tradisi Rakhine.
Nama "Kaman" sendiri berasal dari kata Persia yang berarti "busur," merujuk pada keahlian mereka sebagai pemanah dalam pasukan kerajaan Rakhine. Sejak zaman raja-raja Rakhine, Kaman dikenal sebagai pemanah andal, menduduki posisi terhormat dalam pasukan kerajaan.
Menurut berbagai penelitian dan studi etnografi, serta silabus pendidikan jarak jauh Kementerian Pendidikan Myanmar, Kaman adalah sebutan bagi prajurit ahli panah yang mengabdi pada kerajaan Rakhine. Mereka memiliki kecakapan mental dan kekuatan bela diri yang tinggi, sehingga dipercaya dalam posisi penting di pasukan kerajaan.
Dokumen-dokumen sejarah Rakhine menegaskan bahwa hanya penduduk asli Rakhine yang diizinkan untuk mengabdi dalam pasukan kerajaan. Hal ini mengindikasikan bahwa suku Kaman saat ini bukanlah pendatang, melainkan keturunan dari para pemanah Kaman di kerajaan Rakhine kuno.
Meskipun beragama Islam, suku Kaman memiliki kesamaan bahasa, pakaian, dan budaya dengan etnis Rakhine lainnya. Hal ini membedakan mereka dari kelompok Muslim lain yang tinggal di wilayah Rakhine dan daratan Myanmar. Sikap budaya mereka juga berbeda dari Muslim pada umumnya.
Pada masa lalu, "Kaman" bukanlah nama kelompok etnis tertentu, melainkan nama resimen pemanah kerajaan Rakhine. Setelah runtuhnya kerajaan Rakhine, para pemanah ini tetap berkelompok, dan keturunan mereka menjadi suku Kaman yang kita kenal sekarang.
Pada masa pemerintahan Raja Ba Saw Pru, seorang penyair istana ternama, Adu Min Nyo, menulis tentang keberanian pemanah Kaman dalam syairnya. Catatan sejarah ini memperkuat keberadaan suku Kaman sebagai bagian integral dari sejarah Rakhine.
Dukungan terhadap identitas suku Kaman sebagai bagian dari etnis Rakhine juga diberikan dalam buku "Sejarah Dannyawadi Baru" oleh biksu U Nyar Na, serta buku "Penduduk Asli Negara Bagian Rakhine" oleh U Hla Tun Pru.
Tradisi dan perilaku budaya suku Kaman sangat mirip dengan etnis Rakhine. Misalnya, selama Thingyan (festival air dan Tahun Baru Myanmar), mereka memiliki tradisi mencuci rambut anak-anak, melakukan amal dengan menyumbangkan danau untuk kemudahan pengambilan air, dan membangun tempat istirahat bagi para pelancong.
Praktik monogami, pemeriksaan nasib calon pengantin melalui astrologi, dan pemilihan hari baik untuk pernikahan juga merupakan tradisi yang sama dengan adat istiadat Rakhine. Hingga saat ini, suku Kaman tidak hanya berbicara bahasa Rakhine, tetapi juga mengenakan pakaian Rakhine dan hidup berdampingan secara damai dengan mayoritas etnis Rakhine.
Klaim bahwa kata "Kaman" baru digunakan setelah kedatangan pangeran kerajaan India, Shah Shuja, dan rombongannya ke kerajaan Rakhine pada tahun 1234 M adalah tidak benar. Suku Kaman telah menetap di Rakhine jauh sebelum tahun 1234 M.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa pemanah Kaman telah mengabdi dalam pasukan kerajaan Rakhine pada masa pemerintahan raja-raja seperti Nga Hnalone Min (1234-1247), Alawma Pyu Min (1250), Narameik Hla (alias) Min Saw Mon (1404-1434), Ba Saw Pru (1459-1482), Min Ba Gyi (alias) Min Bin Gyi (1531-1553), Thadoe Thudama Raza (alias) Min Raza Gyi (1593-1612), Thiri Thudama Raza (alias) Min Khari (1622-1638), Sandha Thudama Raza (1652-1684), dan Sandha Wizaya Raza (1710-1731), serta banyak raja lainnya yang memerintah sebelum tahun 1234 M.
Pada masa pemerintahan Raja Nga Hnalone Min, yang merupakan raja terakhir dari dinasti Datha Raza, dikisahkan bahwa ketika terjadi pemberontakan Bengal, Chakma Kalar, dan Thet, beliau mengirimkan panglima perangnya, Pyisogyi Dhamazeya, dengan pasukan 50.000 tentara.
Sejarah suku Kaman adalah kisah tentang perpaduan budaya dan identitas yang unik. Mereka adalah kelompok etnis yang beragama Islam, namun memiliki akar budaya dan bahasa yang kuat dalam tradisi Rakhine.
Kisah ini mengingatkan kita akan keragaman budaya dan agama di Myanmar, serta pentingnya memahami dan menghargai perbedaan.
Dengan memahami sejarah suku Kaman, kita dapat memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang kekayaan budaya Myanmar dan pentingnya menjaga toleransi antar umat beragama.
0 komentar:
Posting Komentar